lagu

KELUARGA KOE

Edisi Lebaran Kelauar Tahun 2012.

SUASANA DI PANTAI

Menikmati Indahnya Pantai Tanjung Belandang KETAPANG KALBAR.

Kenangan Di SMANSA MHS

Melaksanakan Berbagai Kegiatan Sekolah.

EDISI LEBARAN TAHUN 2011

Bersama Keluarga Menikmati Dingin dan Derasnya Arus Sungai Kalimantan.

EDISI DATOK-NENEK HAJI TH 2011

Kami Sekeluarga Dalam Acara Penyambutan....

Laman

Rabu, 06 Februari 2013

Guru dan Perubahan

Guru dan Perubahan

  Kamis, 7 Februari 2013 | 10:28 WIB

 


KOMPAS.com - Tak dapat disangkal, guru merupakan sosok penting yang mengawal perubahan di awal abad XXI.

Guru berpikir jauh ke d epan, bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-anak telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya. Sementara kurikulum baru yang belum tentu sempurna sudah dihujat, kaum muda mengatakan kurikulum lama sudah tidak relevan mengisi masa depan mereka.

Untuk pertama kali dalam sejarah, dunia kerja dan sekolah di- isi empat generasi sekaligus, generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi telepon pintar. Terjadi celah antargenerasi, ”tulis dan temui saya” (generasi kertas), ”telepon saja” (generasi komputer), ”kirim via surel” (generasi internet), tetapi generasi terbaru mengatakan, ”Cukup SMS saja”. Yang tua rapat dengan perjalanan dinas, yang muda pakai skype.

Generasi kertas bersekolah dalam sistem linier terpisah-pisah antarsubyek, sedangkan kaum muda belajar integratif, lingkungannya dinamis, bersenang- senang, dan multitasking. Sekolah bahkan tidak lagi memisahkan kelas (teori) dari lab.

Lewat studinya, The Institute for the Future, University of Phoenix (2012), menemukan, kaum muda akan mengalami usia lanjut yang mengubah peta belajar dan karier. Mereka pensiun di usia 70 tahun, harus terbiasa dalam budaya belajar seumur hidup dan merawat otaknya. Generasi yang terakses jaringan TI bisa lebih cepat dari orangtuanya merencanakan masa depan. Pandangan mereka sama sekali bertentangan dengan celoteh kaum tua di media massa atau suara sumbang yang menentang pembaruan. Ketika guru kolot yang baru belajar Facebook mengagung-agungkan Wikipedia, kaum muda sudah menjelajahi literatur terbaru di kampus Google.

Saat orang tua berpikir kuliah di fakultas tradisional (hukum, ekonomi, kedokteran), generasi baru mengeksploitasi ilmu masa depan (TI kreatif, manajemen ketel cerdas, atau perdapuran kreatif). Cita-citanya menjadi koki, perancang busana, atau profesi independen lain. Ketika geologiman generasi kertas menambang di perut bumi, mereka merancang robot-robot raksasa untuk menambang di meteor. Bila eksekutif tua rindu diterima di Harvard, generasi baru pilih The Culinary Institute of America.

Bahasa dan fisika

Sulit bagi generasi kertas menerima pendidikan yang integratif. Bagi kami, fisika dan bahasa adalah dua subyek terpisah, beda guru dan keahlian. Satu otak kiri, satunya otak kanan. Kita mengerti karena dibesarkan dalam rancang belajar elemen, bukan integratif. Dengan cara lama itu, bingkai berpikir kita bahasa diajarkan sarjana sastra, fisika diajarkan orang MIPA. Dari model sekolah itu wajar kebanyakan aktuaris kurang senyum, ilmunya sangat serius, matematika. Namun, saat meluncurkan program MM Aktuaria minggu lalu, saya bertemu direktur aktuaria sebuah perusahaan asuransi lulusan Kanada yang punya hobi melukis dan mudah senyum. Mengapa di sini orang pintar susah senyum?

Sewaktu mengambil program doktor, saya menyaksikan Gary Stanley Becker (Nobelis Ekonomi, 1992) menurunkan rumus matematika Teori Ekonomi Kawin-Cerai dengan bahasa yang indah. Mendengarkan kuliahnya, saya bisa melihat dengan jelas mengapa pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa membuat keluarga-keluarga Indonesia berevolusi menjadi orangtua tunggal.

Rendahnya komunikasi dan pengambilan putusan dalam pen- didikan dasar jelas akan membu- at generasi baru kesulitan meraih pintu masa depannya. Di Jepang, seorang kandidat doktor asal Indonesia digugurkan komite penguji bukan karena kurang pandai, melainkan buruk bahasanya. Ia hanya pakai bahasa jari dengan kalimat ”from this, and then this …, this…, this…, and proof”. Waktu saya tanya, para penguji berkata, ”Sahabatku, tanpa bahasa yang baik, orang ini tak bisa ke mana-mana. Ia harus belajar berbahasa kembali.”

Tanpa kemampuan integratif, kemampuan kuantitatif, anak- anak pintar Indonesia tak akan mencapai impiannya. Jadi, kurikulum mutlak harus diperbaiki. Jangan hanya ngomel atau saling menyalahkan. Ini saat mengawal perubahan. Namun, catatan saya, Indonesia butuh life skills, yakni keterampilan melihat multiperspektif untuk menjaga persatuan dalam keberagaman, assertiveness untuk buang sifat agresif, dan asal omong dalam berdemokrasi. Indonesia butuh mental yang tumbuh, jiwa positif memulai cara-cara baru, keterampilan berpikir kritis melawan mitos, dan metode pengajaran yang menyemangati, bukan budaya menghukum dan bikin bingung.

Inilah saat guru dan orangtua berubah. Dimulai dari kesadaran, dunia baru beda dengan dunia kita. Cara berpikir kita harus bisa mengawal anak-anak jadi pemenang di akhir abad XXI dengan rentang usia jauh lebih panjang.


RHENALD KASALI, Guru Besar FE UI

Sebuah Ide Tentang Posisi BK dalam Kurikulum 2013

Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013

Draft Pengembangan Kurikulum 2013 baru saja diluncurkan dan saat ini sedang memasuki tahap Uji Publik. Saya sudah mengunjung website resmi Uji Publik Pengembangan Kurikulum 2013 secara online untuk berpartisipasi menyampaikan pemikiran saya terkait dengan Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013, tetapi karena disana hanya disediakan ruang komentar yang tidak begitu leluasa, ditambah terkendala oleh persoalan koneksi server, maka saya memutuskan untuk menyampaikannya di sini, dengan harapan semoga pihak yang terkait dengan upaya Pengembangan Kurikulum 2013 dapat membaca dan memahami apa yang sedang bergolak dalam pikiran saya ini.
Berkaitan dengan Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013, terdapat beberapa hal yang ingin saya sampaikan:
  • Belum tergambarkannya secara jelas bagaimana posisi layanan Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013, telah menimbulkan keresahan tersendiri di kalangan guru BK/Konselor. Hal ini terungkap dari diskusi yang berkembang dalam beberapa komunitas BK di jejaring sosial FaceBook, diantaranya di Komunitas ABKIN dan IBKS. Intinya, mereka mempertanyakan dimana dan mau kemana BK dalam Kurikulum 2013.
  • Kendati dalam Draft Pengembangan Kurikulum 2013 tidak dikemukakan secara eksplisit, saya masih bisa berprasangka positif. Dalam arti, saya yakin bahwa pemerintah masih memiliki kearifan untuk melihat bimbingan dan konseling sebagai bagian integral dari sistem pendidikan kita, yang telah diperjuangkan sejak tahun 60-an.
  • Meski dalam perjalanannya dilalui secara tertatih-tatih, hingga sejauh ini Bimbingan dan Konseling telah mampu menunjukkan berbagai kemajuan yang berarti, diantaranya yang paling mutakhir yaitu dengan didirikannya Program Pendidikan Profesi Konselor di Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Melalui pendidikan profesi konselor ini diharapkan dapat melahirkan tenaga-tenaga profesional dalam layanan Bimbingan dan Konseling sehingga pada gilirannya mereka dapat lebih diandalkan lagi dalam kontribusinya terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan dan semakin mewarnai peradaban kehidupan di negeri ini. Selain itu, belakangan ini sedang berkembang pemikiran tentang perluasan wilayah layanan, yang semula hanya bergerak dalam lingkup persekolahan, kini sudah mulai dipikirkan dan diterapkan dalam jangkauan wilayah garapan yang lebih luas, di luar setting persekolahan. Sungguh ini adalah sebuah kemajuan besar bagi perjalanan sebuah profesi dan tentu akan menjadi kemunduran besar (set back) dan ahistoris, apabila Bimbingan dan Konseling tiba-tiba harus terhempas dalam Kurikulum 2013. Kemunduran ini bukan hanya terjadi pada Bimbingan dan Konseling itu semata tetapi justru kemunduran sebuah peradaban di negeri ini.
  • Meminjam pemikiran Prof. Prayitno (2003) tentang periodesasi perjalanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia, saya melihat bahwa hingga diberlakukanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perjalanan Bimbingan dan Konseling telah memasuki tahapan TINGGAL LANDAS. Jika saya boleh mengelaborasi pemikiran Prof. Prayitno tersebut, maka tidaklah berlebihan jika saya mengatakan bahwa pada Kurikulum 2013 seharusnya Bimbingan dan Konseling sudah dapat memasuki tahapan KEMAPANAN (sebuah tahapan yang tampaknya belum sempat disebutkan oleh Prof. Prayitno,- maaf kalau saya keliru). Dalam tahapan KEMAPANAN ini, Bimbingan dan Konseling seyogyanya dapat hadir sebagai sebuah profesi yang bermartabat, sejajar dengan profesi lainnya yang telah mendapat pengakuan luas dari masyarakat. Tidak dipungkiri, dalam memasuki tahapan KEMAPANAN ini masih banyak persoalan dan tantangan yang masih menghadang, baik yang berkaitan dengan berbagai isu internal, seperti: keterbatasan tenaga Guru BK/konselor profesional, rendahnya kinerja Guru BK, rendahnya dukungan manajemen, dsb, maupun berbagai isu eksternal, sebagaimana disebutkan dalam Alasan Pengembangan Kurikulum 2013.
KEMAMPANAN BK
  • Memasuki tahapan KEMAPANAN dibutuhkan komitmen dan kerja holistik dari semua pihak yang terkait dengan layanan Bimbingan Konseling, khususnya dari 3 (tiga) pilar utama: yaitu: (a) pakar BK, yang terus berusaha mengembangkan keilmuan BK yang dapat ditransformasikan ke dalam praktik, (b) decision maker dari semua tingkatan manajemen (makro, messo, dan mikro, mulai dari kemendikbud, kepala dinas hingga kepala sekolah) untuk senantiasa memfasilitasi dan memberikan dukungan sistemik bagi tumbuh-kembangnya layanan bimbingan dan konseling sebagai sebuah profesi yang bermartabat, dan (3) praktisi, guru BK/konselor yang terus berusaha mengembangkan diri dan kompetensinya dalam rangka pemberian layanan profesionalnya kepada semua pihak yang dilayaninya. Ketiga pilar ini harus berjalan seirama dan tidak bisa mengandalkan pada salah satu pihak saja. Kurikulum 2013 sebagai salah bentuk kebijakan dari decision maker tingkat makro sudah seharusnya mampu mewadahi kepentingan guna terwujudnya tahapan KEMAPANAN ini. Dengan demikian, tampak terang bahwa tidak seharusnya Bimbingan dan Konseling menjadi termarjinalkan dalam Kurikulum 2013 dan berbagai kebijakan pendidikan lainnya.
  • Jika ditanya bagaimana formulasi yang tepat untuk memposisikan Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013? Kita serahkan saja kepada ABKIN sebagai organisasi yang menaungi kita. Disana tersedia para ahli dari berbagai sentra bimbingan dan konseling di Indonesia (Padang, Bandung, Malang, Yogyakarta, Semarang, dsb.) dan untuk kali ini kita berharap semoga mereka dapat bersepakat untuk menentukan formulasi terbaik yang bisa diberikan untuk negeri ini. Kurikulum 2013, bukanlah persoalan Bandung, Padang, Semarang, dan lainnya, bukan pula persoalan ego-ego individual, si A, si B atau lainnya, tetapi ini adalah persoalan kolektif perjalanan sebuah bangsa. Mari kita ambil Kurikulum 2013 sebagai momentum untuk semakin mengokohkan Bimbingan dan Konseling sebagai sebuah profesi yang mapan!